July 16, 2013

Sepotong Peracakapan Tentang Kwetiaw, Hidup Dan Kita

"Kita mau masak apa?" tanyamu sambil menggaruk-garuk leher belakangmu.

Aku selalu suka jika mendengar kamu menyebut kata kita, ini seperti....ah sudahlah, aku harus berhenti meracau dan mengembalikan akal sehatku ke dunia nyata sebelum itu tenggelam kembali ke dalam ekspektasi-ekspektasi sialan yang seringkali berujung pada kekecewaan.

"Ummm, nggak tau, loh kamu katanya udah beli bahannya?" tanya ku.

"Aku nggak tau kenapa tadi malahan beli bahan kwetiaw, gak papa ya?"

"Bay.... kalo gitu mah namanya masak kwetiaw udah jelas" ucapku sedikit tertawa. 

Kamu masih belum berubah. Kamu dan ketololanmu yang seringkali muncul tanpa permisi, yang awalnya terasa sangat menjengkelkan, namun pada akhirnya terasa biasa saja. Mungkin karena kita sudah saling menemukan titik maklum untuk satu sama lain.
- - - - -
"Gimana hidup kamu cit?" tanyamu tiba-tiba, tanpa melepaskan pandangan dari bakso yang sedang kamu iris-iris

Aku yang sedang memotongi daun bawang lantas terdiam sejenak, kemudian menjawab, 
"Hidup? Hmmm... Shit as usual. Aku berharap aku bisa ngubah masa lalu, yang mungkin adalah reason kenapa aku jadi orang yang bitter begini sekarang hehe"

"Hahaha. Hidup emang tahi cit. Sangat tahi. Kadang kita berharap, bahwa diantara semua ke-tahi-an hidup, ada satu hal baik diantara berjuta hal gak baik dalam hidup, misalnya kemampuan untuk bisa mengubah masa lalu. Sulit diterima memang, tapi kita gak bisa mengubah masa lalu. Kita gak bisa kembali untuk memanipulasi beberapa hal dalam hidup kita sebelumnya agar sesuai dengan kehendak kita" katamu panjang lebar sambil memotong-motong bawang

"Karena kalau Tuhan mengizinkan itu, hidup sendiri akan menjadi tidak berarti, membosankan dan tidak pantas "dihidupi" karena untuk menghidupi itu kita tidak perlu berjuang atau melakukan usaha apapun untuk bertahan. Tapi Tuhan mengizinkan kita untuk merancang masa depan kita sedemikian rupa agar bisa lebih baik dan menurut aku itu adalah salah satu kebaikan dari hidup. Btw, kamu udah selesai motong daun bawangnya? Kocok telur gih, aku mau ngiris-ngiris ayam" ucapmu yang kemudian membuka lemari es dan mengambil sepotong ayam beku

Lalu kamu melanjutkan "Tadi sampe mana? Oh, ya gitu cit, dalam hidup kita pasti akan membuat kesalahan, tapi kamu harus ingat bahwa suatu hal terjadi pasti mempunyai sebuah alasan yang menyertainya dan dari hal yang terjadi itu kita bisa menggali pembelajaran yang akan membuat kita tumbuh jadi manusia yang lebih baik. Mungkin kamu hanya perlu lebih menerima dan belajar untuk tidak hanya melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang, dengan begitu aku yakin kamu gak akan berpikiran bitter lagi." ucapmu panjang lebar

"Tapi hidup gak pernah mengajari kita bagaimana mengatasi kekecewaan ketika suatu hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kita, Bay" ucapku sambil menuangkan garam dan lada ke dalam telur dan mengocoknya kembali

"Karena itu guna nya hidup cit, penuh teka-teki yang harus kita isi dan untuk mengisinya kita harus mengalami hal-hal tai seperti kekecewaan. Ketika suatu hal gak berjalan sesuai dengan rancangan pikiran kita, bangun, coba lagi, terus coba lagi bahkan ketika kamu udah berada pada titik dimana kamu ingin menyerah" kamu terdiam sejenak, kemudian melanjutkan
"Tapi yang harus diingat, kekecewaan serta luka yang kita alami pasti akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu. Rasa sedih dan kecewa pasti ada akhir. Kamu hanya memberi sedikit ruang kepada waktu untuk melakukan itu semua. Beri rasa maklum bahwa segala sesuatu membutuhkan proses, seperti kamu memberi rasa maklum kepada setiap hal tentang kita... itu memakan proses yang gak sebentar, namun bukan juga hal yang mustahil kan?" ucapmu sambil memasukan semua bahan ke wajan yang telah diisi minyak panas.

Sambil mengaduk-aduk kwetiaw di wajan, kamu berkata "You just have to live life to the fullest, live in the moment because every second you spend is a second you can never get back"
- - - - -
Ah, lagi-lagi kamu melakukannya. Kamu lagi-lagi kembali mengingatkan aku akan alasan mengapa aku sangat mencintaimu, mengingatkanku kembali kepada setiap keyakinan tentang kamu yang berusaha kupegang teguh namun kerap kali terabaikan karena emosi semu. Kamu beserta jalan pikiranmu yang rumit nan berlika-liku, yang tanpa disangka-sangka bisa menghasilkan penjelasan memukau seperti tadi. 

Haruskah aku berterima kasih lagi kepada kamu karena percakapan kita tadi telah mengubah persepsiku agar tidak selalu melihat hidup dengan sinis? Atau aku harus berterima kasih karena telah diingatkan untuk mengucap syukur kepada Tuhan beserta takdir yang telah mempertemukan aku dengan orang mengagumkan seperti kamu untuk kemudian disatukan dalam kata kita?



July 7, 2013

Setengah Lima Pagi

Kita sama-sama terlalu mabuk.
Terlalu hanyut hingga logika dan norma jatuh terpuruk.
Ingatanku pun seketika menjadi buruk.
Yang aku ingat:
Aku dan kamu; Di sudut tempat itu; Jemari saling terpaut; Bercumbu;
Seakan-akan hari esok tidak bisa lagi ditunggu;
Seakan-akan sebuah ikatan tidak lagi diperlukan sebagai tolak ukur mutlak untuk melakukannya.
Kepalaku mulai semakin pening.
Alkohol keparat. Menjadikan kepenatan di kepala ini seolah-olah sebuah santapan lezat untuk dikoyak-koyak.
- - - - -
 Aku pun berusaha beranjak; berniat menyudahinya; melepasmu. 
Namun kamu enggan. Kamu menarikku lagi, lalu menenggelamkanku kembali ke dalam lautanmu. 
Kamu meminta lebih; kamu ingin mengetahui tentangku.
Bahkan kamu bertanya apakah kita masih bisa bertemu lagi. 
Dan sialnya, aku mengiyakan.
Kamu memelukku sekali lagi. Dan pada saat itu, tidak satupun dari kita enggan untuk melepaskan. 
Kita hanya terdiam. 
Tak lagi saling mencumbu, hanya terdiam. 
Memeluk satu sama lain; menghargai dan menikmati setiap milisekon yang masih kita miliki di dalam keheningan.
Karena kita tahu, kita terlampau malu untuk bertemu lagi dalam keadaan yang tidak menyimpang seperti ini. 
Aku terlalu malu untuk mengorbankan harga diriku demi mengakui mengakui bahwa aku menikmatinya.
Berpelukkan dalam keheningan, diantara semua kebisingan, bersama orang asing sepertimu, yang anehnya, terasa seperti rumah bagiku.
- - - - -
Pukul setengah lima pagi; kita sama-sama beranjak. 
Lupakan ucapan selamat tinggal klise khas dalam film. Kita tidak melakukannya, asal kamu tahu. 
Pertemuan kita tidak diakhiri dengan kecupan lembut, pelukkan hangat... atau sebuah lambaian tangan beserta senyuman sebagai penanda masih adanya harapan untuk bertemu di masa depan. 
Kamu terlalu sibuk menyeret teman-temanmu masuk ke mobil; teman-temanmu yang sudah terkapar tanpa daya; bagai seekor anjing yang baru saja terlindas.
Aku juga terlalu sibuk, berusaha menahan nyeri di kepalaku;
Serta meredam segala kepenatan yang telah kamu ubah menjadi sebuah kesenangan, yang sekarang makin tidak tahu diri, menuntut sesuatu yang sangat mustahil. 
Terima kasih ya, Kamu. 
Maafkan ingatanku yang buruk, yang bahkan mengingat rupamu saja tak sanggup.
Doakan aku agar berhasil membayar luapan rasa penasaranku demi mencari sepotong tentang kamu di celah-celah ruang maya.
Jika mungkin, tolong biarkan aku sesekali untuk menyinggahi kepalamu, ya.
Jangan ragu untuk menghubungiku ketika tentangku di kepalamu sudah tidak lagi terkait dengan apa yang ada di balik celanamu.

Love, 
Aku;

yang sedang tidak mujur karena menginjak muntahan temanmu. 
Sial.