Janitra
melirik jam tangan dengan gelisah. Masih ada setengah jam lagi untuk mengatur
gelisah yang mulai liar memberontak keluar dari wadahnya. Masih ada waktu.
Masih ada waktu sebelum Bagas datang. Ia menyeruput latte di hadapannya.
Di luar hujan terus menitik. Baru sepuluh menit ia tiba di kafe itu, sudah ada
kenangan nakal yang berhasil menggerogoti dinding pertahanannya. Di luar hujan
terus menitik. Hatinya semakin cemas. Janitra melirik jam tangannya lagi. Masih
ada 25 menit lagi sebelum Bagas datang.
***
Keheningan
menyelimuti mobil Bagas, entah sudah berapa lama. Yang terdengar hanya deruan
mesin mobil dan detak kecemasannya sendiri. Haruskah ia menghindari semuanya?
Meringkuk seperti pengecut, berjalan mundur dan menyerah sebelum ia berjuang?
Apa yang ia takuti? Mendengar rentetan kata yang terlontar dari mulut Janitra,
yang kelak ia yakini akan semakin mengoyak hatinya yang belum sembuh?
Bagas
melayangkan pandangnya menembus kaca mobil. Ada Janitra di dalam sana, duduk di
kursi pojok di batas dinding kaca. Rambutnya jatuh terurai menutupi bahu.
Janitra tampak lebih kurus, namun ia tetap cantik seperti biasanya. Ia tetap
menawan. Ia tetap menjadi Janitra kesayangannya. Dipandanginya wanita itu. Mata
Janitra kali ini dengan resah menatap hujan yang membasahi jendela. Derasnya
rintik hujan yang membasahi jendela harusnya mampu mengaburkan wajah resah
perempuannya itu. Mungkinkah segala keresahan di wajah Janitra bermuara
padanya?
Bagas
seharusnya turun dan menghampiri Janitra. Mereka seharusnya bertemu.
Bersama-sama mengurai simpul-simpul rindu yang mereka ciptakan. Namun pintalan
hujan yang turun malam itu layaknya menjadi pertanda bahwa akan ada duka dan
air mata yang sebentar lagi mampir. Bagas tidak tahu apakah ia akan siap
menyambut tamu tak diundang tersebut. Sekiranya begitulah alasan Bagas yang
masih bergeming di dalam mobil sambil menatap Janitra.
***
Bagas
mengenal Janitra tiga tahun lalu, saat itu mereka berdua berprofesi sebagai graphic
designer pada sebuah agensi iklan yang terletak di daerah Kemang. Tidak ada
yang istimewa dengan Janitra, terlepas dari parasnya yang memang menawan. Mungkin
selamanya akan begitu jika pertemuan malam itu tak terjadi. Malam itu seusai
Bagas lembur, hujan tiba-tiba mengguyur Jakarta dengan derasnya. Tak banyak
yang bisa ia lakukan kecuali menunggu hujan hingga mulai sedikit reda. Saat itu
ia mengutuki ketololannya yang selalu lupa menyelipkan jas hujan di motornya.
Ia
berdiri di teras kantor, berusaha mencari perlindungan. Sekiranya begitulah
yang kebanyakan orang lakukan, berusaha menepi untuk menghindari cipratan hujan
yang siap membasahi baju kapan saja. Tetapi tidak dengan seorang perempuan
malam itu. Kelak Bagas mengetahui bahwa perempuan gila yang berdiri di tengah
derasnya terpaan hujan itu adalah Janitra. Ia sama sekali tidak berusaha
menghindari ribuan jarum hujan yang sudah membasahi sekujur tubuhnya. Janitra
malah menengadahkan wajahnya, seolah menantang langit. Ia membiarkan hujan
membasahi setiap lekuknya hingga mata kaki.
"Perempuan
gila," batin Bagas. Namun anehnya, langkah kakinya malah menedekati
Janitra dan kini ia telah berada di sampingnya.
"Kamu gak takut sakit?," tanya Bagas
sambil berusaha menghalangi air hujan yang akan menyelinap masuk ke mulutnya.
"Kalau sakit tinggal minum obat. Malam ini
aku sedang ingin menikmati hujan, sendirian" ujar Janitra seraya menatap
Bagas.
Seharusnya
Bagas merasa terusir oleh perkataan Janitra yang sedang egois ingin menikmati
hujan sendirian. Tetapi, merasa seperti tersihir, ia justru berkata
"Aku juga ingin menikmati hujan,"
ujarnya lirih. Janitra tak menatapnya atau berbicara lagi pada Bagas.
Keheningan pun terasa begitu meriah dan ramai oleh riuhnya rintik hujan yang
turun dari langit. Begitulah awal kedekatan Bagas dan Janitra. Berawal dari
senyum dan anggukan sopan di kantor, menjadi obrolan sederhana di sela jam
makan siang, kemudian menjelma lagi menjadi sesuatu yang lebih intim. Tak
terasa kedekatan tersebut sudah menahun.
***
“Menurutmu
kalau hari itu nggak hujan, apa kita akan bertemu?” tanya Janitra sambil
mengaduk-aduk secangkir latte di hadapannya.
"Kita
pasti akan tetap bertemu, di hari hujan selanjutnya" ucap Bagas sambil
menuangkan gula ke dalam cangkir Janitra.
"Kenapa
sih nggak bisa hujan terus aja, gak usah berhenti" ucap
Janitra sambil menatap ke jalanan Kemang siang itu.
"Janit,
sebesar apapun hujan kelak akan berhenti juga. Kalau hujan berhenti, kita cuma
perlu menunggu itu untuk turun lagi." ujar Bagas sambil menyeruput
kopinya.
"Kalau
hujan turun lagi, dan kamu lagi gak sama aku, anggap aku ada di samping
kamu ya saat itu" kata Janitra.
Bagas
tersenyum dan menggenggam jemari Janitra, "Iya Janit, kamu juga ya anggap
aku selalu menemani kamu ketika hujan sedang turun dan kita sedang tidak
bersama."
***
Sore
itu Janitra tampak lain. Binar di matanya hilang entah bersembunyi di mana.
Bagas tidak ingin bertanya, karena Janitra benci menjelaskan. Bagas mengusap
pipi Janitra dengan lembut dan merengkuh Janitra sedekat mungkin. Ia berusaha
memasukan Janitra ke pelukannya. Berharap dengan memeluk Janitra membuat Bagas
dapat membaca lukanya. Tapi anehnya, di saat yang sama Bagas menyadari kalau
pelukan ini tidak akan bisa meredakan apapun. Luka sudah terlampau terlambat
untuk diredam. Ia merasa, sebentar lagi akan ada perpisahan yang datang
bertamu.
"Jangan
jatuh cinta padaku," ujar Janitra. Suaranya patah, terlihat ia sedang
menyembunyikan kesedihan dibaliknya.
"Aku tidak akan jatuh cinta padamu, Jan.
Aku hanya akan berdiri di tempat ku yang sepatutnya, mencintaimu dengan caraku
sendiri," kata Bagas sambil tersenyum.
"Kita tak bisa bersama lagi, Gas,"
ujar Janitra dengan suara gemetar, kemudian ia melanjutkan, "Aku akan
menikah dengan orang lain."
Keduanya
tak berkata apa-apa lagi. Lalu semuanya terasa mengabur
***
Di
hari yang lain, saat Janitra meperkenalkan pria itu kepada Bagas ia semakin
tahu apa makna dibalik uluran tangan itu. Apa kisah yang membentang
selanjutnya.
"Danang." ucap pria itu sambil
tersenyum.
"Bagas." balasnya. Janitra tertunduk,
seakan ia tak sanggup menatap Bagas. Sementara Bagas berusaha mengerahkan
seluruh kekuatan yang tersisa untuk tersenyum, walau ia tahu Janitra mustahil
tidak mengetahui apa yang ada di pikirannya.
Perlahan
Janitra memberanikan diri menatap Bagas. Mereka saling bertatapan dan dalam
diam seolah mereka berbicara.
Ini lelaki yang kamu maksud?
Iya.
Apakah menurutmu ia yang terbaik?
Tidak.
Mengapa kamu tidak mencoba untuk berbicara ke
orang tuamu?
Aku tidak bisa. Aku takut.
Haruskah aku yang melakukannya untuk kita?
Jangan. Jangan bodoh, itu tidak akan mengubah
apapun.
Rinai hujan
yang turun kali ini berbeda. Sama sekali tidak menyelipkan keindahan pada
hadirnya. Ada perpisahan turut ikut campur di dalamnya.
***
Jan, maafkan aku. Aku tahu hari
ini seharusnya kita bertemu. Maaf kali ini aku lebih memilih menjadi pengecut
dengan memilih tidak bertemu kamu. Maaf, setelah sekian lama kita seperti ini
disaat kamu sudah menjadi istri orang lain, pada akhirnya juga aku memilih
untuk menjadi egois. Kamu lupa Janitra, sebesar apapun hujan turun, pasti ia
akan reda dan tergantikan oleh matahari. Aku pamit ya, Jan. Semoga saat kamu
berusaha merengkuhku kembali, hujanku sudah tidak mengenalmu lagi.
Sebuah pesan
dari Bagas masuk. Hati Janitra seperti di robek-robek kecil dan serpihannya
membentuk mosaik kenangan mereka saat pertama kali bertemu di dalam hujan.
"Lepaskan, Janitra. Sudah terlalu lama kamu
menjadi egois dan rakus, menikah dengan Danang demi orang tuamu, namun tak juga
menginginkan Bagas pergi membawa kenangan hujan milik kalian. Lepaskan
Janitra." ucap Janitra dalam hati, berusaha menguatkan diri. Ia menatap ke
luar jendela. Hujan mulai mereda, walaupun masih menyisakan gerimis. Maskaranya
perlahan mulai luntur oleh bulir air matanya. Dengan lunglai dan hampa, ia
berjalan keluar kafe, menembus hujan. Bagas
telah mampu menjadi egois dengan memutuskan untuk menutup rasa dari segala
kenangan hujan milik mereka, dan hal tersebut rupanya sanggup membuat
Janitra menangis.
***
Jakarta, 19 Oktober 2015
Terinspirasi dari puisi Surat Batu karya Joko Pinurbo