April 1, 2018

Hujan Tidak Jadi Datang


         Janitra melirik jam tangan dengan gelisah. Masih ada setengah jam lagi untuk mengatur gelisah yang mulai liar memberontak keluar dari wadahnya. Masih ada waktu. Masih ada waktu sebelum Bagas datang. Ia menyeruput latte di hadapannya. Di luar hujan terus menitik. Baru sepuluh menit ia tiba di kafe itu, sudah ada kenangan nakal yang berhasil menggerogoti dinding pertahanannya. Di luar hujan terus menitik. Hatinya semakin cemas. Janitra melirik jam tangannya lagi. Masih ada 25 menit lagi sebelum Bagas datang.
***
         Keheningan menyelimuti mobil Bagas, entah sudah berapa lama. Yang terdengar hanya deruan mesin mobil dan detak kecemasannya sendiri. Haruskah ia menghindari semuanya? Meringkuk seperti pengecut, berjalan mundur dan menyerah sebelum ia berjuang? Apa yang ia takuti? Mendengar rentetan kata yang terlontar dari mulut Janitra, yang kelak ia yakini akan semakin mengoyak hatinya yang belum sembuh?
         Bagas melayangkan pandangnya menembus kaca mobil. Ada Janitra di dalam sana, duduk di kursi pojok di batas dinding kaca. Rambutnya jatuh terurai menutupi bahu. Janitra tampak lebih kurus, namun ia tetap cantik seperti biasanya. Ia tetap menawan. Ia tetap menjadi Janitra kesayangannya. Dipandanginya wanita itu. Mata Janitra kali ini dengan resah menatap hujan yang membasahi jendela. Derasnya rintik hujan yang membasahi jendela harusnya mampu mengaburkan wajah resah perempuannya itu. Mungkinkah segala keresahan di wajah Janitra bermuara padanya?
         Bagas seharusnya turun dan menghampiri Janitra. Mereka seharusnya bertemu. Bersama-sama mengurai simpul-simpul rindu yang mereka ciptakan. Namun pintalan hujan yang turun malam itu layaknya menjadi pertanda bahwa akan ada duka dan air mata yang sebentar lagi mampir. Bagas tidak tahu apakah ia akan siap menyambut tamu tak diundang tersebut. Sekiranya begitulah alasan Bagas yang masih bergeming di dalam mobil sambil menatap Janitra.
***
         Bagas mengenal Janitra tiga tahun lalu, saat itu mereka berdua berprofesi sebagai graphic designer pada sebuah agensi iklan yang terletak di daerah Kemang. Tidak ada yang istimewa dengan Janitra, terlepas dari parasnya yang memang menawan. Mungkin selamanya akan begitu jika pertemuan malam itu tak terjadi. Malam itu seusai Bagas lembur, hujan tiba-tiba mengguyur Jakarta dengan derasnya. Tak banyak yang bisa ia lakukan kecuali menunggu hujan hingga mulai sedikit reda. Saat itu ia mengutuki ketololannya yang selalu lupa menyelipkan jas hujan di motornya.
         Ia berdiri di teras kantor, berusaha mencari perlindungan. Sekiranya begitulah yang kebanyakan orang lakukan, berusaha menepi untuk menghindari cipratan hujan yang siap membasahi baju kapan saja. Tetapi tidak dengan seorang perempuan malam itu. Kelak Bagas mengetahui bahwa perempuan gila yang berdiri di tengah derasnya terpaan hujan itu adalah Janitra. Ia sama sekali tidak berusaha menghindari ribuan jarum hujan yang sudah membasahi sekujur tubuhnya. Janitra malah menengadahkan wajahnya, seolah menantang langit. Ia membiarkan hujan membasahi setiap lekuknya hingga mata kaki.
         "Perempuan gila," batin Bagas. Namun anehnya, langkah kakinya malah menedekati Janitra dan kini ia telah berada di sampingnya.
"Kamu gak takut sakit?," tanya Bagas sambil berusaha menghalangi air hujan yang akan menyelinap masuk ke mulutnya.
"Kalau sakit tinggal minum obat. Malam ini aku sedang ingin menikmati hujan, sendirian" ujar Janitra seraya menatap Bagas.
         Seharusnya Bagas merasa terusir oleh perkataan Janitra yang sedang egois ingin menikmati hujan sendirian. Tetapi, merasa seperti tersihir, ia justru berkata
"Aku juga ingin menikmati hujan," ujarnya lirih. Janitra tak menatapnya atau berbicara lagi pada Bagas. Keheningan pun terasa begitu meriah dan ramai oleh riuhnya rintik hujan yang turun dari langit. Begitulah awal kedekatan Bagas dan Janitra. Berawal dari senyum dan anggukan sopan di kantor, menjadi obrolan sederhana di sela jam makan siang, kemudian menjelma lagi menjadi sesuatu yang lebih intim. Tak terasa kedekatan tersebut sudah menahun.
***
“Menurutmu kalau hari itu nggak hujan, apa kita akan bertemu?” tanya Janitra sambil mengaduk-aduk secangkir latte di hadapannya.
"Kita pasti akan tetap bertemu, di hari hujan selanjutnya" ucap Bagas sambil menuangkan gula ke dalam cangkir Janitra.
"Kenapa sih nggak bisa hujan terus aja, gak usah berhenti" ucap Janitra sambil menatap ke jalanan Kemang siang itu.
"Janit, sebesar apapun hujan kelak akan berhenti juga. Kalau hujan berhenti, kita cuma perlu menunggu itu untuk turun lagi." ujar Bagas sambil menyeruput kopinya.
"Kalau hujan turun lagi, dan kamu lagi gak sama aku, anggap aku ada di samping kamu ya saat itu" kata Janitra.
Bagas tersenyum dan menggenggam jemari Janitra, "Iya Janit, kamu juga ya anggap aku selalu menemani kamu ketika hujan sedang turun dan kita sedang tidak bersama."
***
         Sore itu Janitra tampak lain. Binar di matanya hilang entah bersembunyi di mana. Bagas tidak ingin bertanya, karena Janitra benci menjelaskan. Bagas mengusap pipi Janitra dengan lembut dan merengkuh Janitra sedekat mungkin. Ia berusaha memasukan Janitra ke pelukannya. Berharap dengan memeluk Janitra membuat Bagas dapat membaca lukanya. Tapi anehnya, di saat yang sama Bagas menyadari kalau pelukan ini tidak akan bisa meredakan apapun. Luka sudah terlampau terlambat untuk diredam. Ia merasa, sebentar lagi akan ada perpisahan yang datang bertamu.
         "Jangan jatuh cinta padaku," ujar Janitra. Suaranya patah, terlihat ia sedang menyembunyikan kesedihan dibaliknya.
"Aku tidak akan jatuh cinta padamu, Jan. Aku hanya akan berdiri di tempat ku yang sepatutnya, mencintaimu dengan caraku sendiri," kata Bagas sambil tersenyum.
"Kita tak bisa bersama lagi, Gas," ujar Janitra dengan suara gemetar, kemudian ia melanjutkan, "Aku akan menikah dengan orang lain."
         Keduanya tak berkata apa-apa lagi. Lalu semuanya terasa mengabur
***
         Di hari yang lain, saat Janitra meperkenalkan pria itu kepada Bagas ia semakin tahu apa makna dibalik uluran tangan itu. Apa kisah yang membentang selanjutnya.
"Danang." ucap pria itu sambil tersenyum.
"Bagas." balasnya. Janitra tertunduk, seakan ia tak sanggup menatap Bagas. Sementara Bagas berusaha mengerahkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk tersenyum, walau ia tahu Janitra mustahil tidak mengetahui apa yang ada di pikirannya.
         Perlahan Janitra memberanikan diri menatap Bagas. Mereka saling bertatapan dan dalam diam seolah mereka berbicara.
Ini lelaki yang kamu maksud?
Iya.
Apakah menurutmu ia yang terbaik?
Tidak.
Mengapa kamu tidak mencoba untuk berbicara ke orang tuamu?
Aku tidak bisa. Aku takut.
Haruskah aku yang melakukannya untuk kita?
Jangan. Jangan bodoh, itu tidak akan mengubah apapun.
         Rinai hujan yang turun kali ini berbeda. Sama sekali tidak menyelipkan keindahan pada hadirnya. Ada perpisahan turut ikut campur di dalamnya.
***
Jan, maafkan aku. Aku tahu hari ini seharusnya kita bertemu. Maaf kali ini aku lebih memilih menjadi pengecut dengan memilih tidak bertemu kamu. Maaf, setelah sekian lama kita seperti ini disaat kamu sudah menjadi istri orang lain, pada akhirnya juga aku memilih untuk menjadi egois. Kamu lupa Janitra, sebesar apapun hujan turun, pasti ia akan reda dan tergantikan oleh matahari. Aku pamit ya, Jan. Semoga saat kamu berusaha merengkuhku kembali, hujanku sudah tidak mengenalmu lagi.
         Sebuah pesan dari Bagas masuk. Hati Janitra seperti di robek-robek kecil dan serpihannya membentuk mosaik kenangan mereka saat pertama kali bertemu di dalam hujan.
"Lepaskan, Janitra. Sudah terlalu lama kamu menjadi egois dan rakus, menikah dengan Danang demi orang tuamu, namun tak juga menginginkan Bagas pergi membawa kenangan hujan milik kalian. Lepaskan Janitra." ucap Janitra dalam hati, berusaha menguatkan diri. Ia menatap ke luar jendela. Hujan mulai mereda, walaupun masih menyisakan gerimis. Maskaranya perlahan mulai luntur oleh bulir air matanya. Dengan lunglai dan hampa, ia berjalan keluar kafe, menembus hujan.  Bagas telah mampu menjadi egois dengan memutuskan untuk menutup rasa dari segala kenangan hujan  milik mereka,  dan hal tersebut rupanya sanggup membuat Janitra menangis. 
 ***

Jakarta, 19 Oktober 2015
Terinspirasi dari puisi Surat Batu karya Joko Pinurbo

September 20, 2016

Ini Cerita Tentang Rindu

Ini hanya sepotong cerita tentang rindu. Tentang kita yang gemar berbagi cerita, menyingkap rahasia, kemudian kembali memeluk gelisah usai bicara tanpa arah. Benar katamu, kita terlalu asyik menunda berpapasan dengan realita. Mengabaikan ragu di dada, yang tak tersampaikan lewat bicara. Kita lupa, bahwa luka perlu diobati, bukan ditutupi dengan sebuah temu agar lupa. 
“Kita gak selamanya muda, Cit. Udah harus nentuin kapan harus milih. Kalau sudah bisa memilih, jangan ragu lagi. Hal seperti agama, keyakinan dan Tuhan jauh harus lebih dibela meskipun korbannya perasaan sendiri.” katamu waktu itu.
Yang kamu bilang, benar. Yang kita jalani, salah. Aku tak banyak berkata waktu itu. Tetapi aku rasa, kamu pun mengerti. Tak banyak berkata bukan berarti tak bisa merasa. 
“Saingan jangan sama Tuhan, Peng. Pasti kalah.” ujar seorang teman. 
Dan saat ini, aku merasa rindu. Aku rindu kamu. 
Tetapi temanku bilang, jika rindu datang, masukan saja ia ke dalam kotak kaca, nanti juga bisu dan beku dengan sendirinya. Jangan pernah bertanya berapa kali aku mencobanya. Setiap malam warasku selalu tersungkur dihadapan rindu usai diobrak-abrik olehnya yang kian jemawa. Mencari letak sudah, belum pernah semelelahkan ini.
Tolong tanya Tuhanmu, jika tidak bisa memiliki, bolehkah aku yang bukan hamba-Nya menyayangi umat-Nya yang satu ini?” tulismu.
 Sudah tiga bulan lewat, pertanyaan ini masih haruskah kutanyakan kepada-Nya?

Aku menulis agar kamu tahu bahwa aku merindukanmu, karena aku sudah tak pandai lagi berucap dan bahasa sudah terlalu lelah untuk mengungkap. Namun, percayalah, tulisan ini bukanlah bentuk pinta untuk memilikimu sekali lagi. Kuulangi lagi, ini hanya rindu. Karena kembali kesana adalah jauh dan tak bisa diejawantahkan oleh rasa. Kembali kesana berarti membuka tabir memoar lama. Dan kamu pun enggan, begitu pula aku. 

Dini tadi gerimis turun. Ia bersuara pelan kemudian menyusup dalam sisa malamku yang terjaga. Menyisihkan sepertiga pagi, menulis tentangmu hingga muncul matahari, sepertinya telah menjadi kesenangan baru bagiku yang entah sampai kapan akan kulakukan. Sebuah entah yang selalu kusemogakan agar lekas datang. 

Bunda Maria-mu benar, kita takkan pernah bisa sampai pada akhiran.

Dan yang tak banyak berkata, justru menyimpan lara lebih lama. 
(lekas padamlah resah, masa lalu tak selalu salah)