September 20, 2016

Ini Cerita Tentang Rindu

Ini hanya sepotong cerita tentang rindu. Tentang kita yang gemar berbagi cerita, menyingkap rahasia, kemudian kembali memeluk gelisah usai bicara tanpa arah. Benar katamu, kita terlalu asyik menunda berpapasan dengan realita. Mengabaikan ragu di dada, yang tak tersampaikan lewat bicara. Kita lupa, bahwa luka perlu diobati, bukan ditutupi dengan sebuah temu agar lupa. 
“Kita gak selamanya muda, Cit. Udah harus nentuin kapan harus milih. Kalau sudah bisa memilih, jangan ragu lagi. Hal seperti agama, keyakinan dan Tuhan jauh harus lebih dibela meskipun korbannya perasaan sendiri.” katamu waktu itu.
Yang kamu bilang, benar. Yang kita jalani, salah. Aku tak banyak berkata waktu itu. Tetapi aku rasa, kamu pun mengerti. Tak banyak berkata bukan berarti tak bisa merasa. 
“Saingan jangan sama Tuhan, Peng. Pasti kalah.” ujar seorang teman. 
Dan saat ini, aku merasa rindu. Aku rindu kamu. 
Tetapi temanku bilang, jika rindu datang, masukan saja ia ke dalam kotak kaca, nanti juga bisu dan beku dengan sendirinya. Jangan pernah bertanya berapa kali aku mencobanya. Setiap malam warasku selalu tersungkur dihadapan rindu usai diobrak-abrik olehnya yang kian jemawa. Mencari letak sudah, belum pernah semelelahkan ini.
Tolong tanya Tuhanmu, jika tidak bisa memiliki, bolehkah aku yang bukan hamba-Nya menyayangi umat-Nya yang satu ini?” tulismu.
 Sudah tiga bulan lewat, pertanyaan ini masih haruskah kutanyakan kepada-Nya?

Aku menulis agar kamu tahu bahwa aku merindukanmu, karena aku sudah tak pandai lagi berucap dan bahasa sudah terlalu lelah untuk mengungkap. Namun, percayalah, tulisan ini bukanlah bentuk pinta untuk memilikimu sekali lagi. Kuulangi lagi, ini hanya rindu. Karena kembali kesana adalah jauh dan tak bisa diejawantahkan oleh rasa. Kembali kesana berarti membuka tabir memoar lama. Dan kamu pun enggan, begitu pula aku. 

Dini tadi gerimis turun. Ia bersuara pelan kemudian menyusup dalam sisa malamku yang terjaga. Menyisihkan sepertiga pagi, menulis tentangmu hingga muncul matahari, sepertinya telah menjadi kesenangan baru bagiku yang entah sampai kapan akan kulakukan. Sebuah entah yang selalu kusemogakan agar lekas datang. 

Bunda Maria-mu benar, kita takkan pernah bisa sampai pada akhiran.

Dan yang tak banyak berkata, justru menyimpan lara lebih lama. 
(lekas padamlah resah, masa lalu tak selalu salah)