March 21, 2016

Bolehkah Kumiliki Sepotong Hujan Yang Tertinggal Di Matamu?

          
          Sudah kali keempat Banyu mengirim pesan yang sama ke ponselku dalam waktu yang berdekatan. Kemarin, ia berusaha menelepoku, sebanyak enam kali. Aku memang sengaja memgabaikannya. Tetapi, setelah kutimbang-timbang, tidak ada salahnya kali ini kupenuhi permintaannya untuk bertemu denganku. Mungkin ada sesuatu yang sangat penting untuk segera ia sampaikan kepadaku. Meskipun jika akhirnya itu tidak penting, setidaknya aku bisa menunjukan kepada Banyu bahwa aku baik-baik saja, setelah kita berpisah. Sambil membereskan kertas-kertas pekerjaan di atas meja, aku menebak-nebak, apa sesungguhnya yang hendak dia sampaikan. 
          Hampir lima tahun aku dan Banyu telah berpisah dan aku tidak mendengar kabar apapun lagi tentangnya. Lebih tepatnya, aku tidak ingin mendengar kabar apapun lagi tentangnya. Terakhir kali aku melihatnya, kami sedang menghadapi pengadilan, melewati berbagai macam metode mediasi, dan tampang-tampang sedih kolega dan keluarga yang mendadak menjadi kompak. Mereka tak henti menasihati soal masalah kami, membujuk, melakukan apa pun agar kami memikirkan kembali perceraian ini. 
          Sampai putusan cerai sudah final mereka tetap bergunjing, menyalahkan aku yang tak pandai menjaga suami atau Banyu yang tidak lagi setia, menyayangkan pernikahan kami yang kandas. Aku dan Banyu sedang berantakan. Kami sudah berbeda. Kami tidak saling cocok lagi, menjadi alasan basi yang kulontarkan secara otomatis kepada  tiap pertanyaan yang mendatangiku selepas kami bercerai. Entah untuk yang benar peduli, atau untuk yang cuma ingin tahu.  Tidak ada penjelasan. Mungkin memang salah satu dari sekian sedikit kesamaanku dan Banyu adalah kami sama-sama benci menjelaskan.
          Setelah semuanya sudah rapi, aku lantas berdiri menghadap ke belakang meja kerjaku. Kedua mataku menembus kaca jendela berwarna bening. Dari lantai 30 gedung ini, kulihat hujan masih mengiringi mobil-mobil yang bergerak lambat di semua jalan. Orang-orang menyemut di halte untuk berteduh. Dasar Jakarta! Kota yang entah kapan terbebas dari kemacetan panjang. Kota yang tak berhenti berdetak dengan segala macam persoalannya.
          Melewati derasnya hujan, aku mengangkat ponselku, menelepon balik Banyu. Bunyi panggilan terdengar di telingaku. Dadaku berdebar-debar menunggu telepon diangkat di seberang sana.
“Sekar, kamu apa kabar?,” suara berat, khas lelaki itu masih terdengar sama.
“Baik,” balasku singkat. Tiba-tiba aku merasa gugup.
“Bisakah ketemu sekarang?”
“Apa yang membuatmu ingin ketemu?” tanyaku dengan ketus.
“Nanti akan kuceritakan semuanya” ujarnya.
“Nanti dan sekarang tidak ada bedanya” potongku.
“Sekar aku mohon lunakan dirimu sejenak. Beri aku kesempatan untuk menyampaikannya secara langsung” pinta Banyu, suaranya terdengar begitu lirih. 
***
       Sampailah aku di sebuah kedai kopi dekat kantor. Seorang pelayan menyambutku ramah dan segera menuntunku menuju meja di pojok kiri kedai tersebut. Aku pun memesan secangkir teh untuk mengobati dinginnya terpaan hujan malam. Kenapa Banyu memaksaku untuk bertemu malam ini yang dingin seperti ini? Aku benci hujan. Bukankah ia sudah tau aku benci hujan. Mungkin ingatannya tentang apa yang kusukai dan tidak kusukai sudah mengabur seiring dengan berakhirnya pernikahan kami.  
         Tak berapa lama kemudian Banyu pun sampai. Ia berjalan mendekati meja dan duduk di kursinya. Kami saling berhadapan. Meja marmer persegi ini memisahkan kami. Kupandangi tubuhnya lekat, seperti sedang menelanjanginya bulat-bulat. Kemeja kotak-kotak lengan panjang yang ia pakai terlihat agak lusuh. Rambut dan kumisnya pun panjang tak terurus. Tetapi sisanya masih sama seperti dulu. Tangan kekarnya yang sering melingkar lembut di pinggangku dan juga dada bidangnya tempat kepalaku berlabuh.
“Kamu ingin mengantar undangan perkawinanmu dengan perempuan itu?” sentakku tanpa basa-basi.
          Nama perempuan itu kembali muncul dari memori kepalaku. Memuntahkan apa yang kutahu tentang perempuan itu. Dulu, aku dan Kinanthi adalah sahabat karib. Dia sosok perempuan cerdas dan mengagumkan. Perempuan yang tak bisa berdiam diri, penuh ceria, dan sering membuat kelucuan. Kinanthi juga cantik, kulitnya lebih putih dari kulitku, rambutnya panjang sebahu, dan hidungnya mancung seperti bule. Pertemanan kami waktu itu seolah tak terpisahkan. Bahkan setelah aku menikah, kami masih sering berjumpa.
        Namun, di sinilah persoalan itu hadir. Aku terlambat menyadari ketika semuanya terjadi begitu saja. Ternyata Kinanthi dan Banyu bermain api di belakangku. Aku tidak tahu sejak kapan mereka memulainya. Namun memori itu masih sangat segar di ingatanku bagaimana kulihat mereka bercumbu di ruang tamu rumahku. Sebenarnya aku tak perlu kembali mengingat semua itu. Tak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Suatu hari, aku akan memulai hidup baru dengan lelaki pilihanku. Lelaki yang sepenuhnya menjunjung tinggi kesetiaan.
         “Aku merindukanmu, Sekar,” ucapan Banyu langsung memporak-porandakan aku dan lamunanku.
Banyu berhenti sejenak seakan mengizinkan kenangan yang bertugas mencacah ingatanku melakukan pekerjaannya. Di luar hujan terus menitik.
“Aku merindukanmu yang selalu membenci hujan. Aku merindukanmu yang selalu mengutuki hujan yang membuat kencan kita batal, hujan yang tiba-tiba turun membasahi jemuranmu, hujan yang membuatmu mengigil dan merengek untuk tidur di pelukanku. Kamu selalu membenci hujan, Sekar. Aku selalu mengingat itu.”
       Banyu terdiam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Tapi kamu tidak pernah menyalahkan aku yang mencintai hujan. Kamu tidak pernah menyuruhku untuk membenci suara berisik jarum hujan yang memantul di jendela. Kamu tidak pernah menyalahkan takdir yang mempertemukan kita di dalam hujan saat kamu meneduh di sudut halte yang bocor itu. Kamu membenci hujan namun kamu selalu mengizinkan aku untuk menunjukanmu  pesona akan hujan itu sendiri. Aku sangat merindukanmu, Sekar,”
         Aku tercekat, perkataan Banyu barusan seolah mengajakku untuk menziarahi kenangan kami yang rapi tersimpan di hati.
“Aku benci hujan, Banyu. Aku benci hujan menjelma menjadi orang ketiga yang dengki terhadap keintiman kita. Sialnya kamu terlalu mencintai hujan dan condong patuh padanya hingga kamu mengizinkan hujan lain untuk mengguyur setiamu pada kita, lima tahun lalu” akhirnya aku bersuara. Hujan kembali turun dengan lebat di luar sana.
          Diiringi derasnya air hujan yang mengguyur Jakarta, segala rupa kenangan tumpah ruah dari mulut Banyu. Hujan juga tumpah melalui kelopak mataku. Banyu bercerita bahwa tak lama setelah kami bercerai, ia melihat bibir Kinanthi beradu dengan bibir laki-laki lain di tengah hujan.  Tiga bulan kemudian Ibunya meninggal. Ia terus menyalahkan dirinya sebagai penyebab dari ibunya meninggal, karena ketidakbecusannya dalam mengurus pernikahannya denganku dan dengan mudahnya menukarkan pernikahan kami demi perempuan lain. Banyu larut dalam kisahnya. Cukup lama, hingga hujan kembali reda.
***
         Usai Banyu bercerita, aku menyaksikan Banyu tersenyum sambil menyeka air mataku. Hujan menyirna, langit pekat menyingkapkan dirinya sebagai malam dengan sisa angin membelai kulit kami. Hujan menyisakan aroma tanah dan udara lembap yang seakan siap mendamaikan malam kami berdua. Ini memang keputusan yang sulit untuk menerima Banyu kembali setelah apa yang telah terjadi di antara kita. Apa salahnya mencoba, mencoba tidak pernah salah, begitu batinku berkali-kali untuk meyakinkan pilihanku. Juga untuk meyakinkan kedua orang tuaku ketika mereka mengetahui keputusanku untuk rujuk dengan Banyu.
          Kami pun bergandengan tangan, melangkahkan kaki keluar dari kedai kopi tersebut. Saat aku mau membuka pintu, Banyu kemudian berkata,
“Sekar, ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan padamu,” ujarnya.
“Apa itu?,” tanyaku sambil tersenyum.
Dengan suara lirih dan hati-hati Banyu berkata, “Aku ingin mengenalkanmu pada Kirana, anakku dan Kinanthi.”
 Seperti terhisap gravitasi, seketika senyum dan harapanku runtuh terhempas dari langit ke dasar bumi.

***

Citra Diah Utami
18 Oktober 2015 
(salah satu tugas mata kuliah Penulisan Kreatif)


1 comment:

  1. dewalotto merupakan situs taruhan bola, casino, togel, poker, sabung ayam dan slot online terpercaya .
    Saat ini anda tidak perlu repot lagi, cukup menggunakan satu akun sudah dapat bermain di semua permaianan.
    Bagi kalian yang senang bermain di situs taruhan bola mencoba bermain di sini, karena kami akan menyediakan odds terbaik untuk anda.
    Untuk permainan casino online kami juga menyediakan beberapa permainan seperti sicbo, dragon tiger, baccarat, dan blackjack.
    Dapatkan sensasi bermain berbeda dari situs lainnya .
    dewalotto menjadi situs taruhan nomer satu dengan memberikan pelayanan terbaik untuk member .
    Untuk pelayanan deposit dan withdraw hanya 3 menit saja.

    ReplyDelete